05 Maret 2009

Perang Lawan Pornografi, Bagaimana Strateginya?

Diskusi mengenai pornografi kembali hangat di perbincangkan. Kali ini bukan mengenai
materi (konten) pornografinya, melainkan begitu beratnya ancaman hukuman bagi
mereka yang menyebarluaskan informasi terkait dengan pelanggaran kesusilaan (asusila).
Mereka yang terbukti menyebarluaskan informasi tersebut dapat dipidana pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)/Pasal 27 ayat 1, berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).

Konten pornografi memang bisa disaring, tetapi soal efektifitas, tunggu dulu. Beberapa
hal yang dapat menjadi penyebab keefektifan tersebut tidaklah melulu soal kecanggihan
piranti lunak yang digunakan. Siapapun memang bisa mengunduh dan menginstal
berlapis piranti lunak yang berfungsi memblok atau menyaring konten pornografi dari
Internet, baik pada tingkat komputer personal (PC), server pada warnet hingga Internet
Service Provider (ISP) sekalipun. Tetapi sangatlah naïf bila kita percaya bahwa konten
pornografi di Internet dapat efektif dihalau hanya dengan melakukan pemblokiran
ataupun penyaringan secara teknologi. Alasannya, bisa berangkat dengan mengkaji
sejumlah aspek tren perilaku dan bisnis pornografi berikut ini.

Berdasarkan sebuah hasil riset yang dilansir oleh TopTenReviews, setiap detiknya lebih
dari 28 ribu orang yang mengakses pornografi di Internet dengan total pengeluaran
mencapai lebih dari US$ 3 ribu. Data tersebut juga menyebutkan setidaknya tiap detik
ada 372 pengguna Internet yang mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk
mencari konten pornografi.

Adalah fakta bahwa masalah seks (pornografi) adalah topik nomor 1 (satu) yang dicari di
Internet, menurut penelitian dari Sexual Recovery Institute. Studi lain juga menunjukkan
bahwa 60% kunjungan di internet adalah menuju ke situs porno
(MSNBC/Stanfford/Duquesne). Ilustrasi tersebut menunjukkan betapa dasyatnya demam
pornografi melalui internet. Tidaklah mungkin 420 juta situs tersebut dibendung hanya
dengan menggunakan Pasal 27 ayat 1 ITE. Banyak cara untuk menyebarluaskan materi
pornografi dengan menggunakan internet selain daripada melakukan pemblokiran atas
sistus-situs pornografi misalkan saja dengan komunikasi secara peer to peer.

Teknologi

Khusus untuk perilaku pengguna Internet di Indonesia, Google Trends memaparkan
sejumlah data. Ternyata meskipun jumlah pengguna Internet masih terkonsentrasi di
ibukota, Jakarta hanya menduduki posisi ke-5 kota dengan jumlah pencari konten dewasa
dengan memasukkan kata kunci yang sangat umum, ‘sex’. Setelah Jakarta, kemudian
disusul oleh Bandung. Adapun jawaranya adalah kota Semarang, kemudian Yogyakarta,
Medan dan kemudian disusul Surabaya.

Jika kita mencari dengan kata kunci ‘sex’ di Google, maka akan muncul 662.000.000
situs, 568.881 video, 157.000.000 gambar dan 111.057.569 blog. Maka dapatlah
terbayang, bagaimana upaya untuk menyaring informasi dari sekian banyak sumber
tersebut. Apalagi jika harus dipilah antara informasi ‘sex’ yang layak untuk keperluan
pendidikan kesehatan, ilmu bercinta ataupun sekedar sebagai pemuas birahi belaka.

Industri pornografi bukanlah industri kacangan. Bahkan pada 2006 saja, gabungan
penghasilan (revenue) dari sejumlah perusahan teknologi papan atas semisal Microsoft,
Google, Amazon, eBay, Yahoo! dan Apple, tak akan mampu mengimbangi pendapatan
dari bisnis pornografi dengan pemasukan mencapai lebih dari US$ 97 miliar tersebut.

Dengan perputaran uang yang besar dan persaingan yang ketat, maka industri pornografi,
yang diyakini sebagai industri online paling menguntungkan, kerap menjadi perintis
dalam kelahiran ataupun optimalisasi atas sejumlah teknologi baru yang kemudian
setelah itu diadopsi secara luas dalam dunia Internet. Sejumlah teknologi tersebut,
menurut penelitian yang dilakukan terpisah oleh USA Today, Adult Video News dan
Nielsen/NetRatings, terbagi atas teknologi yang berdampak positif dan negatif.

Teknologi yang positif adalah video-audio streaming, layanan berbayar video-ondemand,
piranti lunak digital-rights management, piranti lunak geo-location (program
pelacak lokasi pengguna Internet), konten tersegmentasi dan layanan konten nirkabel
melalui ponsel. Adapun teknologi yang negatif, setidaknya bagi sebagian kalangan,
adalah spam, iklan pop-ad dan cookies (program pelacak aktifitas di Internet).

Bahkan dipercaya pula bahwa layanan tayangan video olahraga dan musik yang dapat
dinikmati melalui ponsel saat ini adalah hasil penggodokan yang dilakukan pada industri
pornografi sebelumnya. Termasuk pula teknologi yang dapat menyajikan konten dan
iklan di PC atau piranti nirkabel, berdasarkan demografi dan perilaku penggunanya.
Jadi sudah sewajarnya kita mengkaji ulang, bagaimana agar sebuah teknologi yang lawas
dan biasa saja, seperti piranti lunak penyaring (filter) konten, dapat berhadap-hadapan
dengan para jawara penghasil teknologi konten masa depan. Ini ibarat David melawan
Goliath!

Privasi

Berdasarkan sejumlah jajak dan studi yang dilakukan di Indonesia, fasilitas e-mail adalah
hal yang paling utama digunakan oleh konsumen Internet. Sayangnya, spam (e-mail
sampah) menghantui aktifitas e-mail siapapun dan dimanapun. Sebuah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Barracuda Networks mengatakan bahwa pada sepanjang 2007 lalu,
dari total trafik e-mail yang tercatat, 95%-nya adalah spam. Kemudian menurut
Symantec, untuk data per Februari 2008 lalu, 6% dari seluruh e-mail spam masuk dalam
kategori untuk ‘dewasa’ di atas 18 tahun.

Ini perlu menjadi pertimbangan pula, bagaimana menyaring konten pornografi, yang
sengaja ataupun tidak, masuk langsung ke mailbox, termasuk ke mailbox anak-anak dan
para remaja yang belum masuk dalam kategori dewasa. Pornografi lewat e-mail lebih
sulit pengidentifikasiannya (termasuk penyaringannya), karena sifatnya yang tidak
terbuka seperti layaknya mengunjungi sebuah situs, kemudian lebih privasi karena
terhantar langsung ke masing-masing individu, dan sifatnya cenderung yang ‘pushservices’,
alias dapat terkirim tanpa harus mengaksesnya terus-menerus. Belum lagi
maraknya sejumlah layanan yang memang mengkhususkan diri dalam menyediakan
konten pornografi via e-mail.

Bahkan di layanan mailing-list terkemuka semisal YahooGroups.com, dapat dijumpai
banyak komunitas ‘dewasa’ yang berdiskusi hingga saling bertukar gambar porno.
Setidaknya hingga kini dapat ditemui lebih dari 39.000 grup diskusi bertajuk ‘sex’ yang
tergabung dalam YahooGroups.com tersebut.
Diskusi, dan bertukar gambar porno tersebut, langsung dikirim dari-dan-ke e-mail para
anggotanya. Pun, masih ada fitur ‘files’ dan ‘photo’ di dalam YahooGroups.com tersebut,
yang memungkinkan anggotanya untuk upload dan menyimpa berbagai berkas gambar
untuk diakses oleh anggota lainnya.

Jika kita ingin konsisten menyaring pornografi di Internet, maka YahooGroups.com
sudah seharusnya menjadi salah satu situs yang masuk dalam ‘daftar cekal’. Masalahnya,
begitu kita mencekal alamat YahooGroups.com tersebut, maka kita juga akan menutup
akses ke ribuan diskusi positif yang ada didalamnya, baik itu diskusi teknologi, politik,
kesehatan, lingkungan hingga keagamaan!

Keluarga

Maka tak salah apabila kita mengingat kembali himbauan Bill Clinton suatu ketika saat
masih menjabat sebagai Presiden AS, “we must recognize that in the end, the
responsibility for our children's safety will rest largely with their parents. Cutting-edge
technology and criminal prosecutions cannot substitute for responsible mothers and
fathers.
Parents must make the commitment to sit down with their children and learn together

about the benefits and challenges of the Internet. And parents, now that the tools are
available, will have to take upon themselves the responsibility of figuring out how to use
them."

Himbauan tersebut masih relevan hingga saat ini. Janganlah kita kemudian terhempas
pada rasa aman yang semu, setelah kita dibombardir dengan berbagai jargon dari banyak
pihak, bahwa mengatasi pornografi seakan bisa dilakukan (hanya) dengan teknologi yang
ada saat ini. Bahkan jika memang masih diperlukan, berbagai jenis piranti lunak
penyaring konten pornografi tersebut, tersedia di Internet dengan berbagai varian kualitas
dan kelengkapan fitur, dari yang berbayar maupun tidak.

Meskipun demikian, haruslah diingat bahwa justru peran orang-tua dan guru
menjadi sangat dominan dan memegang peran utama, tak akan tergantikan oleh
berbagai jenis piranti lunak yang ada.
Membuat program pelatihan ataupun edukasi agar orang tua dan guru tidak menjadi
‘gaptek’ dan kemudian mampu dan mau membimbing anak atau muridnya ketika
menggunakan Internet, akan jauh lebih ampuh ketimbang sekedar mengadakan proyek
pembuatan ataupun instalasi program komputer penyaring konten pornografi yang
efektifitasnya masih diperdebatkan.

Pendekatan persuasif dengan mengajarkan anak-anak dan atau adik-adik kita
menggunakan internet untuk kepentingan pendidikan adalah metode jitu untuk meredam
konten negatif (pornografi) tersebut. Misalkan dengan memperkaya kandungan situs
lokal yang berisikan informasi yang berguna. Cara lainnya adalah dengan
memperkenalkan situs-situs yang dapat menjadi mitra anak-anak kita dalam ber-Internet.

Kiranya kita bisa lebih bijaksana dalam menyikapi fakta pornografi, tanpa harus
membatasi kesempatan anak-anak atau adik-adik kita dalam mengembangkan dirinya.
Apalagi Undang-Undang Dasar Pasal 28 C UUD 45 mengaskan bahwa “Setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.''

Undang-Undang

Satu kenyataan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah
menjelma menjadi filter informasi yang melanggar susila (pornografi). Padahal apa yang
tertuang di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut jauh lebih
luas daripada pornografi itu sendiri. Mulai dari perbuatan yang diperkenankan sampai
dengan perbuatan yang dilarang seperti jaminan terhadap konsumen, bukti yang sah
dihadapan hukum, penggunaan nama domain, penyelenggaraan sistim elektronik sampai
dengan ketentuan mengenai pidana (perbuatan yang dilarang) seperti penyebaran
informasi yang melanggar susila, mengandung SARA, penyusupan dan pengrusakan
terhadap suatu sistim elektronik.

Hal tersebut perlu segera diluruskan mengingat kegiatan dengan memanfaatkan teknologi

komunikasi dan informasi (sistim elektronik) memerlukan sebuah payung hukum. Bahwa
undang-undang ini harus disempurnakan tentu kita semua setuju. Sebagai suatu proses
undang-undang ini telah memberikan dasar bagi kegiatan yang memanfaatkan teknologi
elektronik.

Munculnya gagasan untuk melakukan filtering secara membabi buta agaknya tidak bisa
efektif dilakukan. Satu kenyataan bahwa informasi di internet tidak sebatas materi yang
melanggar susila (pornografi). Sehingga upaya pemerintah menjadikan Undang-Undang
ini sebagai suatu alat untuk mencegah informasi tersebut teagaknya tidak akan berhasil
karena bertentangan nature dari teknologi itu sendiri yang setiap saat mengalami
perkembangan. Buktinya, sampai dengan hari ini meskipun dilarang informasi yang
dianggap melanggar susila tersebut tetap bisa diakses oleh masyarakat.

Upaya untuk melakukan filter melalui cara dan strategi yang represif tidak akan

membawa dampak yang positif bagi anak-anak kita. Jauh lebih efektif melalui cara dan
strategi persuasif yakni dengan melakukan edukasi (penerangan) kepada masyarakat
melalui forum informal atau formal, atau melalui saluran edukatif lainnya seperti
pembuatan buku panduan berinternet.

Transaksi

Meski demikian, sekarang kita patut bersyukur dengan adanya undang-undang ini
kegiatan bertransaksi dengan menggunakan sistim elektronik (transaksi elektronik)
mendapatkan jaminan kepastian hukum. Beberapa hal perlu dijelaskan lebih lanjut,
terutama untuk perbuatan yang dilarang. Semisal untuk tindakan pemasukan sistim
(interception), bahwa tindakan tersebut sesungguhnya tidak dilarang kecuali tindakan
tersebut dilakukan untuk maksud tertentu (kejahatan).

Namun demikian, keberadaan undang-undang ini bukan tidak mungkin
disalahkangunakan oleh kelompok tertentu demi kepentingannya. Dalam konteks itu,
masyarakat bisa mengawasi pelaksanaan dari undang-undang ini. Tentunya melalui
mekanisme yang diperkenankan oleh peraturan di negara ini.

Undang-undang ini tentunya masih jauh dari sempurna, sehingga bukan tidak mungkin
perubahan (perombakan) terhadap materi dilakukan. Paling tidak saat ini, kita selaku
konsumen pengguna sistim elektronik telah mendapatkan jaminan kepastian bila kita
melakukan transaksi elektronik seperti pembayaran listrik, telepon, cicilan rumah dan
lain-lain.

Sekarang, kita tidak perlu kuatir untuk melakukan transaksi elektronik. Karena undangundang
in telah memberikan landasan bagi kita dengan diakuinya informasi elektronik
sebagai informasi yang bernilai secara hukum. Kata kunci dari diskursus mengenai
masalah internet dan pornograi adalah bagaimana kita menggunakan internet secara
bijaksana.

UU ITE hanyalah perangkat untuk membatasi dan bukan ditujukan untuk menghakimi.
Ditangan kita bersamalah, anak-anak bangsa ini akan berkembang dan mengembangkan
diri karena hak kita dijamin oleh UUD’45. Termasuk kesempatan yang seluas-luasnya
mengenal, mengeksplorasi dan memanfaatkan Internet untuk tujuan yang positif.
Selamat ber-Internet Sehat!

Sumber (www.ictwatch.com)
[Tim Internet Sehat]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kirimkan pesan-pesan Anda baik berupa saran, kritik ataupun pertanyaan

Mengenai Saya

Foto saya
Siapakah saya ini? Apa yang telah saya lakukan? Saya telah mengumpulkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah saya dengar dan saya alami.